Berkali-kali Seif harus menghentikan tilawahnya. Entah kenapa, begitu
sulit untuk menikmati bacaan tilawahnya. Terlah berulang kali dia melafalkan ta’awuz
untuk mengusir lintasan pikiran yang sedari tadi mengganggunya. Kelebatan bayangan
wajah teduh, menghilangkan kenikmatannya berinteraksi dengan wahyu Allah.
Rahma Utami, nama yang belakangan sering menggetarkan hatinya meski baru
mengenalnya dua bulan lalu, itu pun sebagai bagian dalam prosesi taaruf. Proses
yang harus dilalui oleh seorang ikhwah untuk menuju jenjang pernikahan.
Hadi kurniawan, murabbinya suatu waktu menawarinya untuk menggenapkan
separo diennya.
“Seif, umur antum sudah memenuhi sunnah untuk walimah. Rasulullah SAW
dulu waktu menikah umurnya dua puluh lima. Setahu abang, umur antum sudah dua
puluh lima, ‘kan?
“Untuk masalah umur, sudah Bang...”
“Kalau masalah yang lain, gimana?”
“Misalnya apa Bang?” Seif balik bertanya.
“Begini, sekarang abang tanya dulu kesiapan kamu. Kamu sudah siap belum
untuk walimah?”
“Ana belum tahu, Bang”
“Lho, kok belum tahu. Atau begini, ada niatan tidak? Itu awalnya yang
perlu didudukkan”
“Ya, kalau niat ya insyaallah ada Bang…”
“Baik. Itu yang utama. Sekarang kita lihat persiapan kemampuan antum.
Pertama, masalah psikologis. Kesiapan mental antum untuk berumah tangga”
Bang Hadi melanjutkan,
“Itu gampang,Seif. Antum sudah bisa mengurus organisasi di kampus. Abang
yakin antum pun bisa mengurus. Rumah tangga. Sedikit beda saja”
“Ah abang, pastinya beda-lah” tukas Seif menyatakan ketakpercayaannya.
“Meskipun beda abang yakin antum pasti bisa melewatinya. Abang tahu siapa
antum. Sudah kenal lama dengan antum. Kita ngaji sudah lama. Tahu abang
kemampuan antum”
“Baiklah Bang, kalau memang ana dipercaya”
“Kemudian, masalah financial. Perlu kejelasan juga. Antum sudah kerja ‘kan?”
“Ya ngajar privat itu Bang…”
“Berapa per bulan penghasilan antum?”
“Alhamdulillah sudah ada Rp.1,4
juta Bang”
“Itu sudah banyak. Abang dulu waktu walimah tidak sebanyak itu. Maksud abang
kita perlu lihat kekuatan financial kita karena boleh jadi ada orangtua akhwat yang memandang ini sebagai sebuah
keharusan. Tapi ingatlah, Allah tidak akan membiarkan hambanya. Rezeki akan
selalu ada, asal berusaha. Antum sudah dapat materinya, ‘kan?”
“Iya Bang, insyaAllah untuk financial ana sudah siap kalau memang segitu
sudah cukup”
“Cukup atau tidak, tergantung kalian kelak. Percayalah, menikah akan
memudahkan mengalirnya rezeki”
Kesimpulan diskusi mereka pada sore itu adalah Seif sudah memenuhi semua
kesiapan yang dibutuhkan untuk melangsungkan walimahan.
Proposal berisi data diri yang diajukan oleh Seif berbalas. Seif menerima
balasan proposal berisi biodata, milik Rahma Utami. Berbeda kampus, keduanya
belum kenal sebelumnya. Setelah saling baca biodata keduanya, mereka pun sepakat
melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu taaruf. Mereka dipertemukan di rumah
murabbiah Rahma yang merupakan teman dari istri Bang Hadi.
Tidak ada kendala berarti yang ditemui oleh keduanya. Seif menanggap proses-proses
itu adalah bagian dari walimah yang harus dijalani ini sebagai sebuah ibadah.
Makanya dia tidak begitu terbebani dengan hasil. Kalau jodoh tidak akan
kemana, yakinnya.
Meski foto Rahma dirasa cukup bagi
Seif, kedua murabbi mereka menganjurkan Seif untuk melihat wajah Rahma .
“Itu adalah hak antum…” kata Ustadzah Wevy
“Agar semuanya jelas. Tidak ada penyesalan dikemudian hari” tambah Bang
Hadi
Seif jadi grogi. Memandang akhwat karena ada suatu kepentingan yang
syar’i, dia biasa saja. Tapi ini, melihat wajah akhwat karena dalam proses
taaruf, mau tidak mau ada yang menggelegak di dadanya. Darah berdesir, jantung
berdetak lebih kencang.
“Ayo, silakan Seif. Tapi jangan lama-lama ya…” Bang Hadi menggoda mencoba
mencarikan suasana.
Seisi ruangan tersenyum melihat kegugupannya. Meski senyum terbit dari
rona Seif, detak jantungnya tetap tak mau kompromi.
Rahma berada di samping kiri Seif agak berjarak tiga meter dibelakangnya.
Seif memutar badannya dengan berat. Berbalik ke arah Rahma. Badannya sudah
berubah arah tapi wajahnya masih
menunduk. Hal ini membuat dia ditertawakan,
“Ayo, angkat wajahnya…’ perintah Ustadzah Welvy tak jelas ke siapa
ditujukan.
Tapi akibatnya, kedua insan yang menjadi pusat perhatian itu sama-sama
mengangkat wajahnya. Mata Seif tertumbuk pada sepotong wajah didepannya.
Frame wajah yang berbalut jilbab itu indah, jelas terlihat. Wajah yang
ayu, merona merah karena malu. Tanpa senyum dengan bibirnya terkatup. Wajah itu
pun menyiratkan kegugupan. Tapi efek-efek itu justru menambah indah.
Seif terlihat terkejut. Wajah itu jauh lebih indah dari fotonya. Beberapa
saat lamanya, waktu seolah berhenti berjalan. Bumi tak lagi berputar. Angin
berhenti berhembus. Nafas tertahan. Darahnya seakan berhenti mengalir. Demi
melihat keindahan wajah teduh itu.
Oh, inikah separuh rusukku? Bersama dia-kah aku akan menggenapkan
setengah dien-ku? Bisik hati Seif.
“Sudah, sudah… jangan lama-lama memandangnya,” Bang Hadi mengingatkan keduanya.
Mereka pun kembali sadar. Seif malu, Rahma tersipu. Keduanya lalu mengucap
istiqfar atas kelalaian mereka. Mereka saling menyadari betapa berbahayanya
memandang orang yang bukan muhrim. Hanya beberapa detik saja, keduanya hampir
tak ingat apa-apa lagi.
Bang Hadi kemudian menanyakan kepada Seif tentang kelanjutan proses
taaruf itu. Bagi Seif, hingga saat itu belum ada hal yang membuatnya urung
melanjutkan proses taaruf. Tidak ada cela, dari Ira. Demikian keyakinan Seif.
Lantas keduanya diminta menceritakan tentang diri masing-masing. Dengan
lancar keduanya menceritakan tentang dirinya. Tidak lengkap memang, hanya
bagian penting yang perlu diketahui oleh orang yang akan menjalani hari
bersamanya. Diantaranya sifat pribadi, dan kebiasaan yang bisa saja tidak
dimengerti oleh oranglain termasuk pasangannya. Dengan demikian keduanya tidak
perlu kaget jika sewaktu-waktu sifat itu muncul.
Sebulan lamanya masih tidak ditemui ada halangan yang membuat keduanya
menunda atau bahkan membatalkan prosesi taaruf.
Hingga pada satu pekan kemudian Seif diminta kembali menemui Bang Hadi.
Kali ini pertemuan dilaksanakan di rumah Bang Hadi. Tempat dimana dia biasa
melaksanakan pengajian rutin mingguan.
Disana, sudah ada Rahma yang juga ditemani murabbiahnya. Dia menunduk
dalam-dalam. Seif masuk, dia pun tak bereaksi. Seif merasakan aroma yang tidak
bersahabat.
Setelah menanyakan kabar, Bang Hadi menyampaikan permasalahan yang
menyebabkan dia perlu memanggil Seif.
“Akhi, ada hal yang perlu kita bicarakan. Tentang ta’aruf antum dengan Rahma.
Tapi abang pesan antum jangan patah semangat dan kecewa jika misalnya proses
ini tidak dilanjutkan”.
Dari muqadimah itu Seif bisa menebak kemana arah dan bagaimana
pembicaraan mereka selanjutnya. Dia pun dengan tenang bersiap mendengarkan
untaian kata dari Bang Hadi.
“Ada salah satu hal yang kita lupakan kemarin. Memang, itu diluar dugaan
kita semua. Mengenai masalah suku. Orangtua Rahma mempermasalahkan beda suku kalianberdua”.
Seif mendengus perlahan. Mengangkat wajahnya, rona tegang melihat kea rah
Bang Hadi. Dalam hati tidak terima dengan alsan keberatan pihak orangtua Ira.
Memang, bagi kita itu bukan masalah. Tapi kita jangan lupa bahwa ada
pihak lain yang juga terlibat dalam hal ini. Sekali lagi, orangtua Rahma tidak
membolehkan Rahma menikah dengan orang yang beda suku”
Karena itukah, Bang? Apa tidak Karena hal lain yang membuat proses ini
batal. Kok, tidak masuk akal, umur dijadikan alasan penghentian proses ini.
“Abang pun rasanya tidak percaya. Sepakat dengan pendapat antum, bagi
kita masalah umur umur bukanlah masalah. Rahma pun begitu. Tapi sekali lagi, itu
menjadi masalah bagi kedua orangtuanya”
Rahma yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara,
“Ana mohon maaf, akhi. Ini diluar perkiraan ana. Orangtua ana sangat keberatan
dalam hal itu”
Tak disangka, Seif menjawab dengan nada keras.
“Kenapa tidak disampaikan sejak awal, bisa ‘kan itu dijadikan sebagai
syarat untuk ikhwan yang berniat melakukan taaruf dengan anti” jawab Seif
dengan nada agak meninggi.
Reaksi ini membuat Bang Hadi dan ustadzah Welvy tak terkecuali Rahma tertercekat.
Rahma semakin tersudutkan. Dia merasa sangat bersalah.
“Afwan Bang, juga Rahma. Kalau nada saya tidak berkenan. Bukan Karena ana
sudah dirasuki semacam perasaan begitu menginginkan anti. Ana siap saja jika
memang tidak jadi. Tapi etika ini yang harus kita jaga. Sedari awal, sebutkan
hal ini. Sebelum semuanya semakin jauh seperti ini”
Seif merasakan kekecewaan yang mendalam tapi berusaha menutupinya.
Bagaimanapun juga, proses sudah sejauh ini telah menghadirkan perasaan yang
tidak ada sebelumnya.
Ruangan hening sejenak. Masing-masing menata hati dan pikirannya. Ira
begitu gelisah. Perasaan tidak enak kepada Seif. Tapi diakuinya, dihatinya pun
tumbuh perasaan yang tak biasa. Hatinya mengatakan Seif adalah pilihan yang
tepat. Perasaan itu tidak muncul begitu saja. Proses-proses yang telah mereka
lewati, telah mengukir perasaan itu.
Mau tak mau, pembatalan itu menggoreskan kekecewaan dihati Seif. Sebenarnya,
Rahma pun tak kalah menderita. Kesedihannya, digoreskan hal sepele; masalah suku.
Terlalu agung tekad mereka untuk dimusnahkan dengan alasan sepele.
“Jangan mencari yang berada suku dengan kita, Rahma. Harus dari suku
Melayu”
“Mama, suku lain pun islam. Tidak boleh membeda-bedaka, Ma…” protes Rahma.
“Tidak Ira, mama tahu apa yang terbaik untuk mu. Kamu tidak boleh mencari
suami beda suku. Suku kita itu lebih baik. Akan ada kesamaan adat istiadat”.
“Mama, suku kita pun belum tentu baik. Paman Zan, menikah dengan sesuku
pun kini cerai. Tak selamanya satu suku bahagia, atau langgeng rumah tangganya.
Dan juga ada banyak hal yang perlu mendapat koreksi dari adat kita”
“Rahma, mama tidak mau berdebat. Mama sudah tua. Ingin diakhir usia mama,
melihatmu sudah bersuami. Tapi dengan yang serasi dan cocok dengan mu”
Dan kecocokan itu hanya karena satu suku, Ma?” Rahma belum bisa menerima.
Mama, coba…”
“Rahma! Jangan bantah mamamu lagi” bentak ayahnya.
Ayahnya kini ikut campur. Kini tak ada lagi yang mendukungnya. Dengan
wajah iba dan memelas, mamanya memandang Rahma.
Suku keluarga mereka adalah suku Melayu. Mama dan papanya asli suku
Melayu. Kalau dirunut maka semua keluarganya pun berkeluarga dengan sesama suku.
Bukan disengaja, ketika Rahma mengajukan proposal kepada murabiahnya ketika
itu. Tidak terfikirkan bahwa kesukuan itu jadi masalah bagi keluarganya. Memang
sebelumnya, tidak ada permintaan khusus oleh keluarganya mengenai kriteria calon
pendamping hidupnya.
Mamanya memang sudah memasuki usia senja. Jujur saja, dia tidak ingin
mengecewakan orangtuanya. Kebahagiaan orangtuanya lebih penting ketimbang
kebahagiaan dirinya.
Tekad Rahma sudah bulat, apa pun konsekuensi yang akan terjadi. Ia harus mencoba
untuk menghentikan proses taarufnya dengan Seif. Kepada murabbiahnya dia
mengadu,
“Apa sudah antum coba membujuk mama antum?”
“Sudah, ustadzah. Mama begtu keras menolak. Sepertinya itu harga mati”
Berat bagi murabbiahnya memberikan keputusan. Sebab, langkah yang sudah
ditempuh telah jauh. Jika dihentikan, akan ada hati yang terluka.
“Kita coba dulu, Rahma. Siapa tahu Seif bisa menerima alasan kita”.
Itulah kesepakat mereka berdua pada sore itu. Malamnya, murabbiahnya
menghubungi Bang Hadi, murabbi Seif. Reaksi yang muncul pun sama. Keberatan
sebab proses sudah sedemikian jauh. Lalu anjuran untuk melakukan lobi kembali kepada
orangtua Ira. Setelah dijelaskan kondisi apa adanya, mau tak mau Bang Hadi
meluluskan permintaan Rahma. Mereka akan meminta Seif untuk menghentikan proses
taaruf yang telah dijalankan.
Benar saja, keyakinan mereka terbukti. Sudah diprediksi dari awal, Seif
akan terluka hatinya.
Dengan suara bergetar, Seif menanggapi permintaan mereka,
“Perlu ustadzah dan Abang ketahui, ana tidak mudah jatuh hati kepada
seseorang tetapi juga tidak mudah melupakan seseorang. Terlebih ini adalah
pertama kali ana melakukan proses taaruf. Ana sudah melakukan istiqarah meminta
kepada Allah untuk menguatkan perasaan ana jika memang dia jodohku. ataupun
menghilangkan perasaan ana jika dia bukan jodohku. Berulangkali ana lakukan.
Nyatanya, perasaan ana bertambah kuat”
Sejenak Seif berhenti bicara untuk mengatur emosinya,
“Tapi jika memang kondisi seperti ini, bagaimana lagi. Ana pun tak bisa
memaksa. Biarlah demi kebahagiaan orang yang menginginkannya maka ana rela untuk
menghentikan proses ini…”
Meski begitu, tak terlihat nada dan rona kelegaan pada Ira, Ustadzah
Welvy, dan Bang Hadi. Justru kesediah yang ada. Rahma malah terisak.
“Tahajud ana mungkin belum ikhlas. Ada hal yang belum ana penuhi. Allah
hendak menguji ana”.
Seif dibiarkan terus mengungkapkan isi hatinya,
“Kepada ukhti Ira dan ustadzah, ana ucapkan terimakasih atas proses yang
telah kita lewati. Percayalah, proses ini adalah pertama kali ana lakukan. Tapi ana harap dikemudian hari jangan lagi
kejadian ini terulang kali. Semoga ana adalah terakhir dari keteledoran kita
melakukan proses taaruf”.
Tidak tahan, Rahma akhirnya buka suara
“Ana minta maaf sekali, akhi... Afwan atas luka yang ana buat. Kalau saja
ada yang bisa ana lakukan untuk mengobati kekecewaan akhi…”
“Tidak perlu ukhti, ana yakin kekecewaan ini segera sembuh” ucap Seif
dengan nada ragu.
Rahma masih berlinangan air mata saat Seif pamit tanpa menoleh lagi ke arah
Rahma. Bang Hadi pun tidak mencegahnya. Hanya berpesan agar menguatkan diri.
Bang Hadi percaya dengan Seif. Pesan itu dijawab dengan anggukan kepala oleh
Seif.
Dengan kepastian ini, Seif bertekad tak boleh ada yang tertinggal
dihatinya. Sepotong wajah teduh tak lagi boleh ada. Cukup selam ini saja wajah
teduh itu singgah dihatinya.
Seif tahu, dia berbohong kepada dirinya. Tidak mudah baginya melupakan
orang yang telah memberi kenangan mendalam baginya.
Dia tahu hari-hari yang bakal dilewatinya akan sulit dengan perjuangan
memupus rasa dihatinya. Tapi dia yakin, waktu adalah obat segalanya. Meski
untuk itu dia harus rela hari-harinya disiksa perasaan kecewa. Sayangnya, dia
tidak tahu seberapa lama terjadi pertarungan dalam hatinya. Waktu-waktu
selanjutnya adalah perjuangan untuk melupakan kenangan yang sempat terpatri di
dalam lubuk hatinya. Tentu ia menyadari, butuh energy besar untuk bisa
melakukannya.
Aku harus berusaha mengikhlaskan sesuatu yang bukan untuk ku. Toh,
selama ini dia pun bukan milikku. Tidak ada yang kehilangan dalam hal ini.
Hanya kepada Allah, dia meminta kekuatan agar bisa melakukannya. Dia yakin,
bahwa ini adalah skenario Allah. Pasti Allah sudah menyiapkan rencana-Nya yang
jauh lebih indah dari rencananya.
darulhikmah/06.04.2012
14.32 pm
0 komentar