Aksi 4 November menjadi sejarah penting bagi
bangsa Indonesia. Sebanyak ribuan peserta aksi (ada yang mengatakan jutaan)
menyemut memenuhi Jakarta. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia
diantaranya Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Jakarta pun penuh sesak. Tua-muda,
laki-laki perempuan dari berbagai organisasi masyarakat maupun atas kesadaran
pribadi. Ulama dan rakyat biasa turun ke jalan. Mereka yang berpakaian agamis
atau pun kaos oblong.
Aksi itu terjadi sebagai reaksi atas dugaan
penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok. Lebih lanjut lagi, aksi itu dilakukan lantaran umat islam kesal
karena Ahok tidak juga ditindak atas tindakannya itu.
Aksi 4 November memiliki banyak arti dalam pelaksanaannya. Pertama, wujud pembelaan umat islam kepada kita suci agamanya atas penistaan Ahok. Diawali dengan pernyataan Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu. Bagi umat islam, Al Quran adalah kitab suci yang diyakini kebenarannya, tidak terbantahkan. Karena itu jika ada yang berusaha meragukannya, apalagi menghinanya, tentu mereka bereaksi. Lebih-lebih orang itu adalah dari kalangan umat lain. Ketika Al Quran dihina, wajib kita membela Al Quran. Buya Hamka mengatakan, “Jika agamamu dinistakan, dan kamu diam, ganti pakaianmu dengan kain kafan”. Di dunia kita membela Al Quran, di akhirat kelak Al Quran yang membela kita.
Kedua, aksi 4 November merupakan wujud
menuntut pemerintah untuk persamaan hukum. Betapa hukum di negeri ini seperti
pisau, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sering kita disuguhkan drama yang
membuat luka. Terjadi diskriminasi hukum. Rakyat miskin dihukum
seberat-beratnya, kasusnya cepat ditindak. Sementara orang kaya atau pejabat
pemerintah, sering kali bebas walaupun sudah nyata bukti pelanggarannya. Mereka
tidak tersentuh hukum. Aksi 4 November merupakan jeritan rakyat agar pemerintah
serius dalam menindak pelanggar. Meskipun itu pejabat pemerintah. Maka
muncullah anekdot, kita semua sama di hadapan hukum, tapi tidak di belakangnya.
Nenek Minah asal Banyumas, divonis 1,5 bulan kurungan karena pencurian 3 buah
kakao. Lalu ada pasutri Supriyono dan Sulastri, pencuri setandan pisang,
divonis keduanya hukuman 3,5 bulan.
Ketiga, sebagai bentuk kesatuan umat. Aksi 4
November merupakan aksi seluruh elemen bangsa. Semua bergabung dalam satu isu.
Saling bahu membahu. Kita dapat saksikan disaat aksi tersebut, begitu banyak
bantuan yang mengalir. Peserta aksi mendapat tawaran nasi, air mineral, atau
buah-buahan cuma-cuma di sepanjang rute aksi. Di media sosial ramai diberitakan
ada seorang penjual sate yang menggratiskan kepada peserta aksi. Dari situs www.kitabisa.com terkumpul donasi sejumlah Rp. 60.057.238.
dari bendahara Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(GNPF-MUI) melaporkan donasi aksi 4 November terkumpul donasi 1,5 miliar.
Keempat, aksi 4 November adalah aksi damai.
Sejak awal, ketua GNPF-MUI ustadz Bachtiar Nasir mengatakan bahwa aksi ini
adalah aksi damai. Selama aksi itu sering
ditegaskan untuk menjaga ketertiban. Peserta aksi dilarang membuang sampah
sembarangan. Bahkan tidak boleh menginjak rumput atau taman kota. Sebegitunya
peserta aksi dijaga untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan. Apatah lagi
kepada sesamanya. Maka diragukan bahwa kemudian kericuhan yang terjadi oleh
peserta aksi. Dari beberapa dokumentasi, terlihat bahwa oknum yang terlibat
bentrok dengan polisi bukanlah peserta aksi. Melainkan provokator yang sengaja
disusupkan. Aksi tercemar dengan kesan ricuh dan ribut.
Post a Comment
Kata Pengunjung: